Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun atau pada Tahun 1568M.  Dua tahun kemudian Fatahillah menyusul. Keduanya dimakamkam secara berdampingan dan tidak diperantarai apapun. Ini menjadi bukti bahwa kedua tokoh tersebut memanglah beda.
Pada masa pemerintahan Sultan ke-VI Pangeran Karim (Panembahan Girilaya), Mataram yang sudah pro-VOC (Sunan Amangkurat I) mengundang menantunya itu untuk datang ke Mataram. Bersama istri dan kedua anaknya -kecuali Pangeran Wangsakerta- hadir ke Mataram. Karena kecurigaan Mataram, keempatnya ditahan untuk tidak kembali ke Cirebon. Panembahan Girilaya meninggal dan dimakamkan di Bukit Wonogiri (1667M), sedang kedua putranya pulang ke Cirebon. Atas kebijakan Sultan Banten, An-Nasr Abdul Kohar, agar tidak terjadi pertumpahan darah, maka dipecahlah Cirebon menjadi tiga bagian; Kasepuhan dipegang Pangeran Martawijaya yang kemudian bergelar Sultan Raja Syamsudin, Kanoman dipegang Pangeran Kertawijaya bergelar Sultan Moh.Badridin, dan Pangeran Wangsakerta diberi bagian Kacirebonan dengan gelar Panembahan Tohpati. Peristiwa ini terjadi di tahun 1667M. Sesuai kesepakatan, hanya Kasepuhan dan Kanoman yang memakai gelar Sultan.
Berikut adalah silsilah raja Keraton Kacirebon:                     
SILSILAH SULTAN KERATON KACIREBONAN

1.       Sultan Anom Raja Mandurareja Kanoman            ( 1808-1814)
2.       Pangeran Raja Hidayat Raja Madenda                   (1814t-1851
3.       Pangeran Raja DendaWijaya Raja Madenda          (1853-1914)
4.       Pangeran Partaningrat Raja Madenda                     (1914-1931)
5.       Pangeran Raharjadireja                                            (1931-1950)
6.       Pangeran Sidek Arjadiningrat                                  (1950-1959)
7.       Pangeran Harkat Nata Diningrat                              (1959-1968)
8.       Pangeran Moh Mulyono Amir Natadiningrat         (1968-1997)
9.       Pangeran Abdulgani Natadiningrat SE                   (1997-Sekarang)

Sejarah Kacirebonan


SEJARAH KERATON KACIREBONAN

            Keraton Kacirebonan terletak di Jalan Pulasaren No. 49 Cirebon. Keraton Kacirebonan walaupun secara fisik merupakan Keraton terkecil di Cirebon namun didalamnya terdapat berbagai khasanah budaya, yang dipimpin seorang sultan sebagai pemangku adat turun temurun. Latar belakang lahirnya Kecerbonan, sebelum menceritakan Kacirebonan berawal dari kehadiran penjajah di bumi Cirebon sejak tahun 1681 setelah mengadakan perjanjian Cirebon dan Kompeni. Belanda berhasil mengatur , memperlemah bahkan memperalat kedudukan kasultanan di Cirebon dalam rangka untuk mencapai tujuan untuk kepentingan-kepentingan Belanda ( compagnie ). Keraton merupakan posisi yang strategis dan merupakan simbol kekuasaan lokal tentunya sangat dipatuhi oleh rakyatnya. Keraton Kecirebonan dibangun tahun 1800, banyak menyimpan benda-benda peninggalan sejarah seperti Keris Wayang, perlengkapan perang, hingga gamelan. Kraton Kacirebonan berada di wilayah kelurahan Pulasaren Kecamatan Pekalipan, tepatnya 1 Km sebelah barat daya dari Kraton kasepuhan dan kurang lebih 500 meter sebelah selatan Kraton Kanoman. Kraton Kacerbonan merupakan pemekaran dari Kraton Kanoman setelah Sultan Anom IV yakni PR Muhammad Khaerudin wafat, Putra Mahkota yang seharusnya menggantikan tahta diasingkan oleh Belanda ke Ambon karena dianggap sebagai pembangkang dan membrontak. Ketika kembali dari pengasingan tahta sudah diduduki oleh PR. Abu sholeh Imamuddin. Atas dasar kesepakatan keluarga, akhirnya PR Anom Madenda membangun Istana Kacerbonan, kemudian muncullah Sultan Carbon I sebagai Sultan Kacirebonan pertama. Kedudukan Cirebon yang berada pada bayang-bayang pengaruh Mataram. ketika Amangkurat I berkuasa dari tahun 1646 hingga 1677. Masa pemerintahan yang ditandai dengan banyaknya pergolakan agaknya menjadi faktor penting mengapa Cirebon semakin menjadi lemah. Pada zaman Amangkurat I, penguasa Cirebon Panembahan Ratu II, cucu Panembahan Ratu, atas permintaan Mataram berpindah ke Girilaya. Kepergiannya dari Keraton' Cirebonke daerah dekat ibukota Mataram ini disertai oleh kedua puteranya, yakni Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kertawijaya. Sebagai pengganti kedudukannya selaku Sultan Cirebon, ditunjuk puteranya yang paling bungsu, yaitu Pangeran Wangsakarta. Panembahan Ratu wafat pada tahun 1662 Masehi. Sebelum meninggal beliau membagi kerajaannya menjadi dua yang diwariskan kepada kedua puteranya itu. Pangeran Martawijaya diangkat sebagai Panembahan Sepuh yang berkuasa atas Kasepuhan. Sedangkan Kertawijaya ditunjuk sebagai Panembahan Anom yang berkuasa atas Kanoman. Sementara itu, Raja Amangkurat I yang kurang bijaksana menimbulkan kebencian di kalangan istana dan penguasa-penguasa daerah yang lain. Dengan didukung oleh seorang pangeran dari Madura bernama Tarunajaya, sang putera mahkota mengadakan pemberontakan. Sayangnya, usaha mereka menentang Amangkurat I tidak berhasil karena perpecahan antara keduanya. Raja Amangkurat I kemudian meninggal di Tegalwangi setelah melarikan diri dari ibukota Mataram. Dalam pertempuran tersebut, kedua pangeran dari Cirebon itu memihak pada pihak pemberontak. Kira-kira tahun 1678 Masehi, kedua bangsawan pewaris tahta Cirebonkembali ke tanah kelahirannya. Dengan demikian kini di Cirebon berkuasa tiga sultan, masing-masing Sultan Sepuh, Sultan Anom dan Sultan Cerbon. Sementara itu di Mataram sebagai akibat dari pemberontakan Tarunajaya, bertumpuklah hutang yang harus dibayarkan kepada pihak VOC-Belanda yang membantu Amangkurat I.  Pihak Mataram membayar hutangnya itu dengan cara melepaskan pelabuhan-pelabuhan potensial beserta penghasilan
yang amat menguntungkan itu kepada VOC. Akibatnya lebih lanjut adalah penghapusan gelar Sultan dari penguasa Cirebon pada tahun 1681 Masehi.
             Sebagai gantinya, raja-raja Cirebon kembali pada gelar Panembahan yang sesungguhnya lebih rendah dari Sultan. Pengganti Sultan Anom adalah putera bungsu. Sedangkan di Kasepuhan terjadi pembagian kekuasaan anatara Sultan Sepuh dan Sultan Cirebon. Ketika Pangeran Cirebon dibuang karena melawan Belanda, daerah kekuasaan nya diberikan kembali kepada Sultan Sepuh. Kemunduran Kesultanan Cirebon semakin meningkat sejak tahun 1773 Masehi. Setelah Panembahan terakhir wafat tanpa mewarisi keturunan, daerahnya kemudian menjadi terbagi-bagi dan dikuasai oleh para pangeran. Lama-lama kehadiran kompeni di bumi Cirebon dirasakan sangat tidak menguntungkan rakyat Cirebon bahkan menyengsarakan rakyat. Peralihan pemerintahan dari Kompeni ( VOC ) ke Hindia Belanda tidak jauh berbeda. Kebijakan tak popular penjajah seperti penindasan, perbudakan, pajak yang mencekik, pemerasan dan sebagainya membuat kebencian rakyat terhadap kaum pendatang dan kroni kroninya, akibatnya memunculkan pergolakan-pergolakan /penentangan rakyat bahkan pemberontakan bersenjata.

Sejarah Cirebon


Sejarah Cirebon

                          Sebelum mengenal keraton Kacirebonan kita ketahui dahulu sejarah kota Cirebon tersebut. Menurut Babad Carita tanah Cirebon, tersebutlah kerajaan besar di kawasan barat pulau Jawa PAKUAN PAJAJARAN yang Gemah Ripah Repeh Rapih Loh Jinawi Subur Makmur Aman Tentrem. Dengan Rajanya JAYA DEWATA bergelar SRI BADUGA MAHARAJA PRABU SILIWANGI Raja Agung Sakti Madraguna Dihormati, disanjung Puja rakyatnya dan disegani oleh lawan-lawannya. Raja Jaya Dewata menikah dengan Nyai Subang Larang dikarunia 2 (dua) orang putra dan seorang putri, Pangeran Walangsungsang yang lahir pertama tahun 1423 Masehi, kedua Nyai Lara Santang lahir tahun 1426 Masehi. Sedangkan Putra yang ketiga Raja Sengara lahir tahun 1428 Masehi. Pada tahun 1442 Masehi Pangeran Walangsungsang menikah dengan Nyai Endang Geulis Putri Ki Gedheng Danu Warsih dari Pertapaan Gunung Mara Api. Mereka singgah di beberapa petapaan antara lain petapaan Ciangkup di desa Panongan (Sedong), Petapaan Gunung Kumbang di daerah Tegal dan Petapaan Gunung Cangak di desa Mundu Mesigit, yang terakhir sampe ke Gunung Amparan Jati dan disanalah bertemu dengan Syekh Datuk Kahfi yang berasal dari kerajaan Parsi. Ia adalah seorang Guru Agama Islam yang luhur ilmu dan budi pekertinya. Pangeran Walangsungsang beserta adiknya Nyai Lara Santang dan istrinya Nyai Endang Geulis berguru Agama Islam kepada Syekh Nur Jati dan menetap bersama Ki Gedheng Danusela adik Ki Gedheng Danuwarsih. Oleh Syekh Nur Jati, Pangeran Walangsungsang diberi nama Somadullah dan diminta untuk membuka hutan di pinggir Pantai Sebelah Tenggara Gunung Jati (Lemahwungkuk sekarang). Maka sejak itu berdirilah Dukuh Tegal Alang-Alang yang kemudian diberi nama Desa Caruban (Campuran) yang semakin lama menjadi ramai dikunjungi dan dihuni oleh berbagai suku bangsa untuk berdagang, bertani dan mencari ikan di laut. Danusela (Ki Gedheng Alang-Alang) oleh masyarakat dipilih sebagai Kuwu yang pertama dan setelah meninggal pada tahun 1447 Masehi digantikan oleh Pangeran Walangsungsang sebagai Kuwu Carbon yang kedua bergelar Pangeran Cakrabuana
                 Pangeran Walangsungsang mendapat gelar Haji Abdullah Iman dan adiknya Nyai Lara Santang mendapat gelar Hajah Sarifah Mudaim, kemudian menikah dengan seorang Raja Mesir bernama Syarif Abullah. Dari hasil perkawinannya dikaruniai 2 (dua) orang putra, yaitu Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Sekembalinya dari Mekah, Pangeran Cakrabuana mendirikan Tajug dan Rumah Besar yang diberi nama Jelagrahan, yang kemudian dikembangkan menjadi Keraton Pakungwati (Keraton Kasepuhan sekarang) sebagai tempat kediaman bersama Putri Kinasih Nyai Pakungwati. Setelah Kakek Pangeran Cakrabuana Jumajan Jati Wafat, maka Keratuan di Singapura tidak dilanjutkan (Singapura terletak + 14 Km sebelah Utara Pesarean Sunan Gunung Jati) tetapi harta peninggalannya digunakan untuk bangunan Keraton Pakungwati dan juga membentuk prajurit dengan nama Dalem Agung Nyi Mas Pakungwati. Prabu Siliwangi melalui utusannya, Tumenggung Jagabaya dan Raja Sengara (adik Pangeran Walangsungsang), mengakat Pangeran Carkrabuana menjadi Tumenggung dengan Gelar Sri Mangana.

               Pada Tahun 1470 Masehi Syarif Hiyatullah setelah berguru di Mekah, datang ke Pulau Jawa, mula-mula tiba di Banten kemudian Jawa Timur dan mendapat kesempatan untuk bermusyawarah dengan para wali yang dipimpin oleh Sunan Ampel. Musyawarah tersebut menghasilkan suatu lembaga yang bergerak dalam penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa dengan nama Wali Sanga. Sebagai anggota dari lembaga tersebut, Syarif Hidayatullah datang ke Carbon untuk menemui Uwaknya, Tumenggung Sri Mangana (Pangeran Walangsungsang) untuk mengajarkan Agama Islam di daerah Carbon dan sekitarnya, maka didirikanlah sebuah padepokan yang disebut pekikiran (di Gunung Sembung sekarang)

             Setelah Sunan Ampel wafat tahun 1478 Masehi, maka dalam musyawarah Wali Sanga di Tuban, Syarif Hidayatullah ditunjuk untuk menggantikan pimpinan Wali Sanga. Akhirnya pusat kegiatan Wali Sanga dipindahkan dari Tuban ke Gunung Sembung di Carbon yang kemudian disebut puser bumi sebagai pusat kegiatan keagamaan, sedangkan sebagai pusat pemerintahan Kesulatan Cirebon berkedudukan di Keraton Pakungwati dengan sebutan GERAGE. Pada Tahun 1479 Masehi, Syarif Hidayatullah yang lebih kondang dengan sebutan Pangeran Sunan Gunung Jati menikah dengan Nyi Mas Pakungwati Putri Pangeran Cakrabuana dari Nyai Mas Endang Geulis. Sejak saat itu Pangeran Syarif Hidayatullah dinobatkan sebagai Sultan Carbon I dan menetap di Keraton Pakungwati. Sebagaimana lazimnya yang selalu dilakukan oleh Pangeran Cakrabuana mengirim upeti ke Pakuan Pajajaran, maka pada tahun 1482 Masehi setelah Syarif Hidayatullah diangkat menajdi Sulatan Carbon membuat maklumat kepada Raja Pakuan Pajajaran PRABU SILIWANGI untuk tidak mengirim upeti lagi karena Kesultanan Cirebon sudah menjadi Negara yang Merdeka. Selain hal tersebut Pangeran Syarif Hidayatullah melalui lembaga Wali Sanga rela berulangkali memohon pada Raja Pajajaran untuk berkenan memeluk Agama Islam tetapi tidak berhasil. Itulah penyebab yang utama mengapa Pangeran Syarif Hidayatullah menyatakan Cirebon sebagai Negara Merdeka lepas dari kekuasaan Pakuan Pajajaran. Peristiwa merdekanya Cirebon keluar dari kekuasaan Pajajaran tersebut, dicatat dalam sejarah tanggal Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala, bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijiriah atau 2 April 1482 Masehi yang sekarang diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Cirebon.



Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Cirebon

Hubungan Kasepuhan, Kanoman dan Kacirebonan



Adanya tiga Keraton yang berada di Cirebon, membuat banyak orang bertanya-tanya apakah memiliki keterkaitan hubungan antara Keraton Kasepuhan, Kanoman dan Kacirebonan?
Tentunya pasti ada hubungan diantara ketiganya, lalu bagaimana kisah keterkaitan diantaranya?


Ada beberapa kali peristiwa terpecahnya kekuasaan di Cirebon, entah itu karena konflik internal pada keraton sendiri maupun dikarenakan Belanda yang saat itu menguasai Cirebon dan memonopoli perdagangan.


Cirebon pertama kali didirikan oleh Syekh Syarief Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati pada tahun 1490. Kemudian Cirebon hanya bertahan sampai generasi keenam Sultannya, sultan Cirebon terakhir adalah Panembahan Girilaya. Setelah Panembahan Gerilaya wafat terpecah menjadi dua, putra sulung Panembahan Girilaya namanya Pangeran Syamsuddin Mertawijaya mendirikan Keraton Kasepuhan. Letak keratonnya tidak jauh dari reruntuhan keraton Cirebon didalam Pakungwati. Adik dari sultan kesepuhan pertama bernama Pangeran Badridin Kertawijaya mendirikan Keraton Kanoman.  Pada sultan Kanoman ke IV terpecah lagi menjadi Kacirebonan.

Hal ini bermula dari Belanda masuk ke Cirebon dan ia mendominasi monopoli perdagangan di Cirebon. Rakyat Cirebon tidak terima dan akhirnya terjadilah perang terbuka. Belanda sempat berunding dengan Pangeran Surya Negara (putra mahkota sultan Kanoman IV). Perundingan terakhir berjalan buntu dan Pangeran Surya Negara enggan menandatangani perjanjian dengan Belanda. Hal ini membuat Belanda murka, dan langsung menangkap Pangeran Surya Negara dan diasingkan ke Batavia.

Singkat cerita, Daendles datang memiliki proyek besar yaitu pembuatan jalan Anyer-Pamanukan. Daendles memetakan daerah-daerah Jawa yang masih berkonflik karena menghambat laju pebangunan dan membuat situasi keamanan menjadi tidak kondusif. Salah satunya peperangan yang masih terjadi di Cirebon. Ia pun mencari tahu mengapa hal itu masih terjadi. Ternyata para rakyat Cirebon angkat senjata dikarenakan rasa empati dan simpati atas pengasingan dan pembuangan Pangeran Surya Negara. Mereka ingin Pangeran Surya Negara dipulangkan ke Cirebon.

Akhirnya pada tahun 1806, Pangeran Surya Negara dibebaskan dan dipulangkan ke Cirebon, kemudia desakan para keluarga dan pengikutnya menyuruh beliau agar mengambil hak sebagai Sultan Kanoman V. Tetapi Pangeran Surya Negara mengabaikan hal itu, karena sudah ada adiknya yang menjabat. Dua tahun berikutnya, Pangeran Surya Negara mendirikan kesultanan baru yang bernama Kacirebonan.

Nah begitulah cerita singkat mengenai keterkaitan hubungan antara Kasepuhan, Kanoman dan Kacirebonan yang pada dasarnya masih dalam satu keluarga. Adalagi Kaprobonan namun Kaprobonan bukan keraton melainkan lembaga pendidikan. Tapi usianya lebih tua dibandingkan Kacirebonan. Untuk membedakan keraton atau bukan terlihat dari pusat pemerintahannya atau biasa disebut dengan Baluartinya.

Hampir semua pusat pemerintahan lama di Jawa, seperti di Jogjakarta, Surakarta, Cirebon, Demak, Jepara. Apa itu yang dimaksud dengan kedhaton (keraton)? Baluarti secara harfiah berarti bangunan-bangunan yang berada didalam tembok keraton. Atau biasa disebut dengan tataletak bangunan. Hampir semua keraton yang ditanah Jawa, Baluarti nya menghadap utara. Nanti didepan biasanya ada sebidang tanah lapang yang biasa disebut dengan alun-alun. Alun-alun sendiri jaman dahulu biasa digunakan untuk latihan peperangan, pengadilan umum,mobilisasi massa dan lain-lain. Masuk kedalam lagi nanti akan ada benteng dan satu akses pintu. Disebelah barat pendopo prabayaksa biasanya terdapat bangunan masjid yang disebutnya baluarti. Lengkapnya baluarti ini ada Kaputran dan Kaputren itu adalah tempat tinggal putra-putri Sultan ketika beranjak dewasa, jadi sudah dipisahkan agar mandiri. Juga ada Graha Pringgowati yang biasa digunakan untuk menyimpan hasil bumi.

Upacara Mudun Lemah, masih dilakukan dilingkungan Keraton(?)


Upacara Mudun Lemah Apakah masih dilakukan dilingkungan Keraton?

Selain tradisi upacara Panjang Jimat yang terkenal di Keraton Kacirebonan terdapat pula tradisi upacara Mudun Lemah yang  masih sangat-sangat dilestarikan dilingkungan keraton Kacirebonan. Dimana disana kita dapat melihat sebuah kurungan yang berada disamping kiri Prabayaksa. Didalam kurungan tersebut terdapat sebuah kursi dan tangga.

 "Lalu apa sih Upacara Mudun Lemah itu?"

Upacara mudun lemah sendiri adalah prosesi adat Cirebon yang dilakukan ketika anak berumur 7 bulan. Dimana upacara ini menggambarkan siklus kehidupan manusia, yaitu ketika anak pertama kali menginjakan kaki dibumi. Upacara ini menandakan masa awal orangtua dan keluarga melepas anaknya untuk berinteraksi dan mengenal dunia lebih dekat. Upacara ini juga punya makna kedekatan anak manusia kepada tanah airnya. Dengan menjalani kehidupan yang baik dan benar dibumi ini, maka kehidupan didunia ini akan terasa nyaman.

Upacara Mudun Lemah biasa berlangsung pada pagi atau siang hari di halaman rumah dan disaksikan oleh sesepuh, keluarga, tetangga, Kyai dan Juru Kidung. Kyai bertugas dalam memimpin doa dan Tolak Bala sementara Juru Kidung memulai upacaranya.

Sebelum seorang anak menjalani tradisi ini, ada beberapa hal yang perlu disiapkan oleh orangtua seperti kurungan ayam, anak tangga, tumpeng , ketan, dan lain- lain. Tidak lupa dengan  beberapa properti yang akan dipilih oleh sang anak nanti.

Dalam tradisi Mudun Lemah ada tahap-tahap yang harus dilalui oleh sang anak, seperti berikut ini: 

Tahap pertama, anak dituntun untuk berjalan maju dan menginjak ketan yang sudah disediakan. Hal ini Melambangkan agar sang anak dapat melewai berbagai rintangan dalam hidup ini. Selanjutnya sang anak akan dibimbing untuk menaiki tangga yang terbuat dari tebu wulung yang melambangkan agar sang anak dapat memperoleh kesuksesannya dimasa yang akan datang dengan setahap demi setahap.Turun dari tangga tebu sang anak akan dimasukkan kedalam sebuah kurungan yang sudah dihias dengan sangat indah. Makna dari dimasukannya sang anak kedalam kurungan itu adalah perlambang nak memasuki dunia nyata. Didalam kurungan terdapat berbagai benda yang nantinya akan dipilih oleh sang anak. Misal diletakan Al-Qur’an, uang, buku dan benda-benda bermanfaat lainnya agar nanti anak mengambil salah satunya dan benda yang ia ambil memiliki makna yang berbeda-beda. Selanjutnya kedua orangtuanya pun melakukan saweran , yaitu berupa uang logam yang dicapur dengan berbagai macam bunga. Dengan maksud si anak ketika dewasa dapat menjadi orang yang dermawan dan suka menolong orang lain. Lalu sang anak anak dimandikan dengan air siraman yang sudah dicampur bunga yang melambangkan agar sang anak  dapat mengharumkan nama baik keluarganya. Usai upacara sang anak dipakaikan pakaian yang bersih dan bagus yang melambangkan agar jalan kehidupannya baik.


Upacara Mudun Lemah ini sudah semakin jarang dilaksanakan oleh orang-orang diluar lingkungan keraton. Hanya mereka yang masih memegang tradisi yang sangat kuatlah yang dapat mempertahankannya. Sesaji pada Upacara Mudun Lemah ini sering dikatakan oleh orang awam sebagai  takhayul. Tapi balik lagi ke diri anda sendiri  apakah ingin melakukannya atau tidak. Namun walaupun begitu, nilai-nilai yang terkandung pada tradisi ini wajib ditanamkan oleh orangtua kepada sang anak. Agar sang anak dapat menjadi manusia yang bermanfaat bagi nusa, bangsa dan negara serta keluarganya. Serta menjadi generasi yang sukses di dunia maupun akhirat. Aamiin.



Keraton Kacirebonan Wisata Murah Meriah (?)

Wisata Murah cuman bayar Rp 10.000 ?

Buat kalian yang sedang berada di Cirebon jangan lupa untuk mampir ke Keraton Kacirebonan, tepatnya di Jl. Pulasaren, Kecamatan Pekalipan Kota Cirebon. Tempatnya
 sangat strategis serta halaman parkirnya luas. Untuk biaya masuknya sendiri, kalian harus merogoh kocek sebesar Rp 10.000/orang. Tapi perlu diingat hanya biaya masuknya saja ya tidak termasuk tour guide!! Jika kalian butuh tour guide, ada tambahan biaya minimal Rp 20.000  ya guys.

"Emang keuntungan pake tour guide apa aja sih?"

Keuntungannya kalian dapat diberi penjelasan detail  mengenai sejarah keraton Kacirebonan berdiri dan dapat masuk ke ruangan yang disana terdapat benda-benda pusakanya lalu diberi informasi juga mengenai benda-benda tersebut namanya apa, jaman dahulu dipake apa dan sekarang masih digunakan atau tidak. Ya kurang lebih seperti itulah jika kalian memakai tour guide. Sangat disarankan pake tour guidenya yang bapak-bapak ya guys  jangan ibu-ibu karena saya pernah dua kali kesana dengan tour guide yang berbeda dan dari masalah sejarah dan segi penyampaian informasinya lebih enak yang dari bapak-bapak.

Setelah permasalahan biaya masuk serta tour guide, mari kita bahas keadaan di lingkungan keraton.
Saat memasuki keraton Kacirebonan kalian akan melewati alun-alunnya terlebih dahulu, lalu masuk ke pintu Lawang Kahagung dimana pintu tersebut sebagai pembatas antara kawasan keraton dengan alun-alunnya. Halaman keraton disana sangat-sangat terawat, cukup bersih hanya ada sampah dedaunan yang berjatuhan. Setelah kita memasuki pintu Lawang Kahagung nanti kita ke Pasebahan dulu untuk mengambil tiket lalu barulah masuk ke pintu selanjutnya yaitu Lawang Paduraksa. Tapi bukan lawang paduraksanya yg ditengah,dikarena kan lawang paduraksa hanya dibuka ketika ada acara keraton ataupun kunjungan dari para pejabat. Jadi kita masuk lewat anak pintu dari lawang paduraksa yang berada disebelah kiri. Sehabis memasuki pintu tersebut kalian akan melihat halaman kedua keraton yang sangat asri dan sejuk. Karena terdapat banyak tumbuh-tumbuhan dan pepohonan yang tertanam disana. Terdapat pula tempat duduk dan meja yang terbuat dari batu yang menambah kesan keindahan pada halamannya. Nyaman banget tempatnya, cocok banget buat kalian yang mau ke tempat wisata tapi gak suka yang terlalu ramai dan butuh ketenangan juga.

Kalau kalian bertanya, " Apakah banyak spot fotonya di Keraton Kacirebonan?"

Hmm, kalo kalian para  pencari spot foto yang keren-keren, lucu-lucu atau lainnya ketika sedang berwisata, jangan harap deh disana kalian bakal temuin spot foto yang banyak. Karena memang beda jauh dengan Keraton Kesepuhan yang memiliki banyak spot foto. Tapi kalau kalian para pencari ketenangan serta benar-benar mencari ilmu sejarahnya diwajibkan sekali kalian untuk mengunjungi tempat ini.

"Ada tempat untuk beli souvenir engga sih disana?"

Oh tentu saja ada ya, disana terdapat ruangan khusus untuk pembelian souvenir. Souvenirnya sendiri terdiri dari berbagai macam bentuk dan ragam, seperti gantungan kunci, blangkon, tas , baju, talenan, dompet kecil bermotif batik, bros, topi, tempat tisu dengan hiasan kerang, pajangan untuk dirumah serta alat mainan congklak yang sangat tradisional sekali bentuknya dan juga indah. Untuk harganya sendiri sangat bervariatif, tergantung jenis barang dan tingkat kesulitan yang dibuat. Contohnya saja pada tas wanita, harganya ada yang  Rp 300.000, Rp 500.000 dan lain-lain. Jadi buat kalian yang ingin membeli souvenir untuk dijadikan sebagai kenang-kenangan bahwa pernah datang ke Keraton Kacirebonan jangan lupa untuk membelinya ya.

Sanggar Tari yang Berada di belakang Keraton



Dibelakang gedung prabayaksa keraton terdapat sebuah halaman yang kanan-kirinya terdapat sebuah rumah yang merupakan tempat tinggal sultan yang saat ini sedang bertahta. Dan juga agak ke belakang halaman terdapat sebuah tempat yang biasa digunakan untuk  belajar menari anak-anak kecil. Halamannya sendiri biasa digunakan untuk latihan drama kolosal. Untuk daerah belakangnya lagi, terdapat gang menuju sanggar tari.  Yap! Di Keraton Kacirebonan ini terdapat gang yang bisa menembus ke sanggar tari yang jarang banget orang tahu. Disanggar tari ini terdapat banyak sekali alat musik, pakaian tari serta properti untuk menari yang dapat disewakan.

Sanggar tari yang berada dibelakang keraton Kacirebon ini sangat melestarikan budaya sekali. Karena dengan adanya sanggar tari tersebut, para generasi-generasi penari dimasa yang akan datang akan semakin banyak. Dapat dipastikan tarian-tarian Cirebon maupun tarian tradisional Indonesia tidak akan punah. Selain menari yang dilestarikan, drama kolosal pun juga ikut dilestarikan.

"Emang apa sih drama kolosal itu?"

Drama kolosal adalah drama yang dimainkan dengan sejumlah pemain yang banyak. Ukuran lot dalam hal ini tidak memiliki angka pasti. Tapi setidaknya, tidak seperti drama pada umumnya. Misalnya, untuk menggambarkan perang, drama kolosal menunjukkan jumlah pasukan dalam perang seperti dalam perang nyata, yang memerlukan pasukan yang banyak.

Dalam drama ini, jarang sekali ada tariannya bahkan tidak ada. Karena kebanyakan cerita yang diangkat adalah cerita rakyat seperti pendekar-pendekar jaman dahulu atau cerita rakyat lainnya dengan suasana jadul, cerita singkat tentang sejarah dan lain-lainnya. Untuk musik terutama sound effect di sini ada, gerakan (fisik, bicara dan lain-lain) tentunya pasti ada, perilaku dan sifat dari pemerannya pun ada.

Tapi drama kolosal yang berada disanggar tari ini sangat berbeda, dikarenakan menggunakan banyak sekali tarian dan alat musiknya menggunakan alat musik tradisional seperti Gamelan,gendang , gong dan lain-lain. Serta untuk lagunya sendiri biasanya terdapat sinden yang akan menyanyikan.

Pada tahun 2016 di Alun-Alun Keraton Kacirebonan sendiri diadakan drama kolosal yang berkisah tentang Nyi Mas Gandasari. Sekilas tentang cerita Nyi Mas Gandasari, Nyimas Gandasari dalam sejarah Cirebon dikenal sebagai murid sunan Gunung Jati yang rupawan, selain rupawan beliau juga dikisahkan mewarisi Ilmu Agama dari gurunya dan sangat kuat. Suatu ketika Nyimas Gandasari mengadakan sayembara dalam bentuk duel adu kesaktian untuk mencari Suami, tapi tak ada satupun yang mampu menandinginya. Namun pada akhirnya sehabis menyerang Syekh Magelung Sakti dan dengan hasil tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah, maka merekapun dinikahkan oleh Sunan Gunung Jati.

Menurut legenda yang berkembang, Ganda Sari itu sebenarnya merupakan julukan, karena memang beliau ini dikisahkan sebagai seorang wanita yang bersih, dan suka sekali menggunakan wewangian, sehingga harum tubuhnya itu semerbak. Nyimas Gandasari selama hidupnya pernah menjadi Panglima Perang Kerajaan Cirebon, ia merupakan satu-satunya panglima perang wanita dalam sejarah berdirinya Kerajaan Cirebon, jasanya yang paling menonjol bagi kejayaan Cirebon adalah keberhasilanya membobol benteng pertahanan Kerajaan Sunda Galuh. Sehingga berkat jasanya itu Cirebon kemudian dapat menaklukan Galuh.  Nyimas Gandari dihadiahi wilayah kekuasaan yang sekarang dikenal dengan desa Panguragan itu setelah keberhasilannya menaklukan Galuh. Makam atau kuburan Nyimas Gandasari dapat ditemui di desa Panguragan Kabupaten  Cirebon.

Nah dengan adanya drama kolosal yang masih diletastarikan oleh pihak Keraton seperti ini, sangat menambah wawasan kita untuk tahu seluk-beluk sejarah para pahlawan yang sangat berjasa untuk Kota Cirebon ini.