SEJARAH KERATON KACIREBONAN
Keraton
Kacirebonan terletak di Jalan Pulasaren No. 49 Cirebon. Keraton Kacirebonan
walaupun secara fisik merupakan Keraton terkecil di Cirebon namun didalamnya
terdapat berbagai khasanah budaya, yang dipimpin seorang sultan sebagai
pemangku adat turun temurun. Latar belakang lahirnya Kecerbonan, sebelum
menceritakan Kacirebonan berawal dari kehadiran penjajah di bumi Cirebon sejak
tahun 1681 setelah mengadakan perjanjian Cirebon dan Kompeni. Belanda berhasil mengatur
, memperlemah bahkan memperalat kedudukan kasultanan di Cirebon dalam rangka
untuk mencapai tujuan untuk kepentingan-kepentingan Belanda ( compagnie ).
Keraton merupakan posisi yang strategis dan merupakan simbol kekuasaan lokal
tentunya sangat dipatuhi oleh rakyatnya. Keraton Kecirebonan dibangun tahun
1800, banyak menyimpan benda-benda peninggalan sejarah seperti Keris Wayang,
perlengkapan perang, hingga gamelan. Kraton Kacirebonan berada di wilayah
kelurahan Pulasaren Kecamatan Pekalipan, tepatnya 1 Km sebelah barat daya dari
Kraton kasepuhan dan kurang lebih 500 meter sebelah selatan Kraton Kanoman.
Kraton Kacerbonan merupakan pemekaran dari Kraton Kanoman setelah Sultan Anom
IV yakni PR Muhammad Khaerudin wafat, Putra Mahkota yang seharusnya menggantikan
tahta diasingkan oleh Belanda ke Ambon karena dianggap sebagai pembangkang dan
membrontak. Ketika kembali dari pengasingan tahta sudah diduduki oleh PR. Abu
sholeh Imamuddin. Atas dasar kesepakatan keluarga, akhirnya PR Anom Madenda
membangun Istana Kacerbonan, kemudian muncullah Sultan Carbon I sebagai Sultan
Kacirebonan pertama. Kedudukan Cirebon yang berada pada bayang-bayang pengaruh
Mataram. ketika Amangkurat I berkuasa dari tahun 1646 hingga 1677. Masa
pemerintahan yang ditandai dengan banyaknya pergolakan agaknya menjadi faktor
penting mengapa Cirebon semakin menjadi lemah. Pada zaman
Amangkurat I, penguasa Cirebon Panembahan Ratu II, cucu Panembahan Ratu, atas
permintaan Mataram berpindah ke Girilaya. Kepergiannya dari
Keraton' Cirebonke daerah dekat ibukota Mataram ini disertai oleh kedua
puteranya, yakni Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kertawijaya. Sebagai
pengganti kedudukannya selaku Sultan Cirebon, ditunjuk puteranya yang paling
bungsu, yaitu Pangeran Wangsakarta. Panembahan Ratu wafat pada tahun 1662
Masehi. Sebelum meninggal beliau membagi
kerajaannya menjadi dua yang diwariskan kepada kedua puteranya itu. Pangeran
Martawijaya diangkat sebagai Panembahan Sepuh yang berkuasa atas Kasepuhan.
Sedangkan Kertawijaya ditunjuk sebagai Panembahan Anom yang berkuasa atas
Kanoman. Sementara itu, Raja Amangkurat I yang kurang bijaksana menimbulkan
kebencian di kalangan istana dan penguasa-penguasa daerah yang lain. Dengan
didukung oleh seorang pangeran dari Madura bernama Tarunajaya, sang putera mahkota
mengadakan pemberontakan. Sayangnya, usaha mereka menentang Amangkurat I tidak
berhasil karena perpecahan antara keduanya. Raja Amangkurat I kemudian
meninggal di Tegalwangi setelah melarikan diri dari ibukota Mataram. Dalam
pertempuran tersebut, kedua pangeran dari Cirebon itu memihak pada
pihak pemberontak. Kira-kira tahun 1678 Masehi, kedua bangsawan pewaris
tahta Cirebonkembali ke tanah kelahirannya. Dengan demikian kini
di Cirebon berkuasa tiga sultan, masing-masing Sultan Sepuh, Sultan
Anom dan Sultan Cerbon. Sementara itu di Mataram sebagai akibat dari
pemberontakan Tarunajaya, bertumpuklah hutang yang harus dibayarkan kepada
pihak VOC-Belanda yang membantu Amangkurat I. Pihak Mataram membayar hutangnya itu dengan
cara melepaskan pelabuhan-pelabuhan potensial beserta penghasilan
yang amat menguntungkan itu kepada VOC. Akibatnya lebih lanjut adalah penghapusan gelar Sultan dari penguasa Cirebon pada tahun 1681 Masehi.
yang amat menguntungkan itu kepada VOC. Akibatnya lebih lanjut adalah penghapusan gelar Sultan dari penguasa Cirebon pada tahun 1681 Masehi.
Sebagai gantinya,
raja-raja Cirebon kembali pada gelar Panembahan yang
sesungguhnya lebih rendah dari Sultan. Pengganti Sultan Anom adalah putera
bungsu. Sedangkan di Kasepuhan terjadi pembagian kekuasaan anatara Sultan Sepuh
dan Sultan Cirebon. Ketika Pangeran Cirebon dibuang karena melawan Belanda,
daerah kekuasaan nya diberikan kembali kepada Sultan Sepuh. Kemunduran
Kesultanan Cirebon semakin meningkat sejak tahun 1773 Masehi. Setelah
Panembahan terakhir wafat tanpa mewarisi keturunan, daerahnya kemudian menjadi
terbagi-bagi dan dikuasai oleh para pangeran. Lama-lama kehadiran kompeni di
bumi Cirebon dirasakan sangat tidak menguntungkan
rakyat Cirebon bahkan menyengsarakan rakyat. Peralihan pemerintahan
dari Kompeni ( VOC ) ke Hindia Belanda tidak jauh berbeda. Kebijakan tak
popular penjajah seperti penindasan, perbudakan, pajak yang mencekik, pemerasan
dan sebagainya membuat kebencian rakyat terhadap kaum pendatang dan kroni
kroninya, akibatnya memunculkan pergolakan-pergolakan /penentangan rakyat
bahkan pemberontakan bersenjata.
0 Response to "Sejarah Kacirebonan"
Posting Komentar